JurnalSecience - Eamon McCrory di University College London dengan menggunakan fMRI untuk memindai otak dari 20 anak yang sehat lahiriahnya tetapi dianiaya dan 20 anak yang di kontrol dari lingkungan yang aman.
Selama scan anak-anak usia rata rata 12 tahun dilihat ketika sedih, wajah ketika kondisi normal dan dalam kondisi marah. Ketika mereka melihat wajah wajah marah, anak anak dianiaya menunjukkan aktivitas ekstra di amigdala dan insula anterior, yang diketahui terlibat dalam deteksi dan antisipasi ancaman rasa sakit. Yang mencengankan dari data yang di dapat ternyata Prajurit Tempur menunjukkan aktivitas tinggi yang seupa (hasilnya dapat dilihat di Currunt Biology DOI: 10.1016/j.cub.2011.10.015)
"Keyakinan kami adalah bahwa perubahan ini dapat mencerminkan adaptasi saraf," kata McCrory. "Anak-anak dianiaya dan tentara aktif beradaptasi untuk bertahan hidup di lingkungan yang mengancam atau berbahaya." Meskipun hal ini bisa membantu anak bertahan hidup tahun-tahun awal mereka, mungkin mempengaruhi mereka untuk masalah kesehatan mental di masa dewasa, seperti depresi atau kecemasan, kata McCrory.
Sebuah studi terkait, diterbitkan minggu ini oleh Hilary Blumberg dari Yale University School of Medicine dan koleganya, menunjukkan bahwa area otak yang penting untuk pengolahan emosional kekurangan materi abu-abu pada remaja yang menderita penganiayaan sebagai anak-anak (Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine, DOI: 10.1001/archpediatrics.2011.565).
"Studi menunjukkan bahwa masa kanak-kanak penganiayaan 'masuk ke dalam otak, dan menjadi tertanam biologis," kata Avshalom Caspi, yang mempelajari kesehatan mental di Duke University di Durham, North Carolina.
0 komentar:
Posting Komentar
Sahabat yang budiman jangan lupa Setelah membaca untuk memberikan komentar.Jika Sobat Suka Akan Artikelnya Mohon Like Google +1 nya.
Komentar yang berbau sara,fornografi,menghina salah satu kelompok,suku dan agama serta yang bersifat SPAM dan LINK karena akan kami hapus.Terima Kasih Atas Pengertiannya