JurnalScience – Baru baru ini para ilmuan menemukan hubungan yang hilang antara Jam Biologis Tubuh dengan sistem metabolisme gula. Apa yang yang telah dilakukan para ilmuan mudah mudahan bisa membantu menghindari efek samping yang serius dari obat yang digunakan untuk mengobati asma, alergi dan arthritis.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pekan lalu di Nature, para ilmuan di Salk institute menemukan bahwa protein yang mengontrol ritme biologis tubuh, yang juga dikenal sebagai kriptokrom, yang berinteraksi aktif dengan metabolik. Reaksi ini lah yang menjadi target beberapa obat anti inflamasi.
Temuan ini menunjukkan kepada kita bahwa efek samping dari obat saat ini dapat dihindari dengan mempertimbangkan ritme biologis pasien ketika diberikan obat-obatan, atau dengan mencari cara untuk mengembangkan obat baru yang menyasar atau menargetkan kriptokrom.
“Kami mengetahui bahwa siklus tidur dan bangun kita saling terikat pada proses nutrisi tubuh kita, tapi bagaimana hal ini terjadi pada tingkat genetik dan molekuler dan ini merupakan sebuah misteri,” kata Roland M. Evans, yang merupakan seorang profesor di Salk's Gene Expression Laboratory dan juga memimpin penelitian ini. “ Sekarang kita telah menemukan hubungan antara kedua sistem yang penting, yang bisa berfungsi sebagai model untuk mengetahui bagaimana proses seluler lainnya yang saling terkait dan mungkin memberikan harapan untuk pengobatan yang lebih baik.”
Glukokortikoid adalah hormon steroid yang terjadi secara alamiah di dalam tubuh dan berfungsi membantu mengontrol kadar gula dalam darah. Mereka berfungsi dalam sel dengan berinteraksi dengan reseptor Glukokortikoid, molekul aktif di luar nekleus yang pertama kali ditemukan ole Evans sendiri pada tahun 1985.
Glukokortikoid juga memainkan peran dalam mengatur peradangan dan digunakan sebagai obat anti-inflamasi untuk penyakit yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh terlalu aktif, seperti alergi, asma dan rheumatoid arthritis. Obat ini juga bisa digunakan untuk mengobati peradangan pada pasien kanker
Para peneliti mungkin telah menemuka cara untuk menangani efek samping ini dengan menemukan fungsi baru untuk kriptokrom 1 dan 2 protein yang berfungsi pada jam biologis. Kriptokrom difungsikan untuk membuat berhenti sejenak (Istirahat) sehingga memperlambat aktivitas Sistem Sinyal Biologis kita. Dalam studi baru mereka pada sel tikus, Evans dan rekan rekannya membuat penemuan yang mengejutkan dimana cryptochromes juga berinteraksi dengan reseptor glukokortikoid, membantu untuk mengatur bagaimana menyimpan tubuh dan menggunakan gula.
Sel-sel tikus berfungsi seperti sel manusia, sehingga temuan itu dapat memiliki implikasi penting untuk pengobatan penyakit autoimun dan kanker. Dengan memperhitungkan kenaikan harian dan tingkat kejatuhan cryptochrome. Para ilmuan mengatakan, dokter mungkin dapat mengatur waktu yang lebih baik untuk pemberian obat glukokortikoid untuk menghindari efek samping tertentu yag terkait dengan metabolisme gula.
Penemuan ini juga meningkatkan kemungkinan pengembangan Obat Baru Anti-Inflamasi yang dapat menghindari beberapa efek samping dengan menargetkan kriptokrom bukan langsung menargetkan glukokortikoid aktif. Lebih luas Evan mengatakan, penelitian ini membantu menjelaskan hubungan antara tidur dan metabolisme nutrisi dalam tubuh kita, termasuk mengapa orang-orang yang bekerja pada malam hari dan jam kerja tidak menentu beresiko tinggi pada obesitas dan diabetes. “Mengganggu siklus normal siang dan malam dari aktivitas jam biologis mungkin membuat seseorang dari disinkronisasi proses metabolisme nutrisi, “kata Evans. “Akibatnya, tubuh tidak mungkin menyimpan dan memproses gula secara normal. Yang mengarah pada penyakit metabolik.”
Studi ini di danai oleh : National Institutes of Health, the Glenn Foundation for Medical Research, the Leona M. and Harry B. Helmsley Charitable Trust and the Life Sciences Research Foundation. (JS/D1/11.12.22)
Sumber Referensi : “Cryptochromes mediate rhythmic repression of the glucocorticoid receptor " oleh Katja A. Lamia, Stephanie J. Papp, Ruth T. Yu, Grant D. Barish, N. Henriette Uhlenhaut, Johan W. Jonker, Michael Downes, Ronald M. Evans. Diterbitkan di Nature pada 14 Desember 2011.
0 komentar:
Posting Komentar
Sahabat yang budiman jangan lupa Setelah membaca untuk memberikan komentar.Jika Sobat Suka Akan Artikelnya Mohon Like Google +1 nya.
Komentar yang berbau sara,fornografi,menghina salah satu kelompok,suku dan agama serta yang bersifat SPAM dan LINK karena akan kami hapus.Terima Kasih Atas Pengertiannya